Ticker

6/recent/ticker-posts

PPP dan Kutukan Restu Suprastruktur

PPP, Ketua Umum, Agus Suparmanto, Mardiono

Adalah maklum belaka, sejak awal berdirinya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) nyaris tidak pernah benar-benar mandiri. Seolah-olah partai ini hanya tumbuh sejauh restu suprastruktur.

Kelahiran PPP adalah produk kebijakan penyederhanaan politik era Orde Baru. Kekuatan Kelompok Spirituil-Materiil di DPR difusikan kepada PPP. Sedangkan Kelompok Materiil-Spirituil difusikan kepada PDI. Satu kendaraan lagi, yakni Golkar, ditumbuhkan sebagai kekuatan baru kaum teknokrat penopang Orde Baru. Golkar pada masa itu menjadi organisasi serba-ganjil: dikatakan ormas tidak bisa, karena ikut pemilu; disebut partai pun tak mau, karena menolak label itu. Intinya sederhana: asal Soeharto berkenan, apapun namanya, jalan terus.

Karena dilahirkan oleh kebijakan paksa Orde Baru, PPP dan PDI tumbuh menjadi partai yang tidak stabil. Isinya hanya konflik antar faksi. Faksi eks-Parmusi yang menjelma menjadi Muslimin Indonesia (MI) berkonflik panjang dengan faksi Partai Nahdlatul Ulama (NU). Secara jumlah massa, NU lebih besar. Namun secara jangkauan, MI—yang mengklaim sebagai pewaris Masjumi—lebih luas. Dua kekuatan lain, PSII dan Perti, nyaris tak berdaya. PSII melemah akibat perpecahan internal. Sementara Perti juga terbelah dua: satu kelompok menjadi faksi kecil di PPP, satu lagi bersekutu dengan pemerintahan Soeharto dan diisi oleh orang-orang Golkar.

Dalam perseteruan MI dan NU inilah pemerintah sebagai suprastruktur memainkan peran selaku “stabilisator”: menjaga agar konflik tidak meledak, tetapi juga memastikan supaya partai ini tetap menjadi partai bonsai yang tak pernah benar-benar stabil sehingga tidak menjadi ancaman bagi rezim. Jejak intervensi ini bisa ditelusuri sejak masa awal Parmusi. Menteri Sosial Mintaredja dipasang langsung oleh Soeharto sebagai Ketua Parmusi, karena Mohammad Roem—Ketua terpilih Muktamar Malang—dianggap terlalu berbau Masjumi. Lalu muncul Naro yang mengkudeta Mintaredja di PPP, dengan kemampuan menahan dominasi NU. Naro kemudian tumbang setelah berani menentang Sudharmono pada pemilihan Wapres 1988. Kelompok Delapan (Kodel) semula mengajukan Mas Ton (Hartono Mardjono), namun gagal terpilih sebagai formatur. Di titik itu, Mendagri Rudini -seperti dicatat jurnalis Wall Paragoan- turun tangan: ketua harus dari MI, tapi bukan Mas Ton, melainkan Buya Ismail Metareum—figur sejuk yang tidak keras. Mas Ton dianggap terlalu berbahaya karena pada 1977, sebagai Ketua DPW PPP DKI, ia sukses mempermalukan Golkar dengan kemenangan PPP di Jakarta.

Tradisi restu suprastruktur ini berlanjut setelah Reformasi. Hamzah Haz bisa duduk sebagai ketua karena posisinya di kabinet Habibie. Suryadharma memperoleh restu lantaran menjadi menteri di era SBY. Romahurmuziy alias Romy melesat karena mendekat ke Jokowi, menyingkirkan Suryadharma lalu Djan Faridz. Dan Mardiono—yang entah dari mana akar kepartaiannya—tiba-tiba diangkat jadi Plt Ketua Umum, bermodal status Wantimpres Jokowi. Dari pola ini, terlalu mudah menebak siapa yang akan menjadi Ketum PPP: lihat saja siapa yang paling direstui Istana.

Kini, di era Prabowo, PPP kebingungan mencari ketua. Sandiaga Uno dan Amran Sulaiman yang semula diharapkan bersedia memimpin partai, tidak siap karena tidak ada restu Istana. Kini, dua nama sedang berebut legalitas. Apakah Mardiono akan dipertahankan, atau Agus Supratmono yang bakal mendapat lampu hijau? Kepada siapa Istana menoleh?

Intinya dari pola ini jelas: PPP bagai negara protektorat. Tidak pernah berdaulat menentukan nasibnya sendiri, selalu tunduk pada patron eksternal. Dulu tunduk pada sinyal Soeharto, kemudian tunduk pada sinyal Jokowi—meski akhirnya terkecoh ketika Jokowi beralih dari Ganjar ke Prabowo—dan kini, bak kata Romy di banyak podcast, tunduk pada sinyal Prabowo. PPP ibarat kesultanan-kesultanan Nusantara abad ke-17 hingga ke-20, yang setiap suksesi harus menunggu pengesahan dari VOC atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Dan beginilah jadinya: PPP tampak hidup, tetapi roh kemandiriannya mati. Kutukan restu suprastruktur membuatnya jauh dari denyut akar rumput, bersikap bukan bak kata kader, melainkan menurut kata patron di Istana. Hingga akhirnya, terasing dari dirinya sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar